Rabu, November 26, 2008

kepedulian pada bangsa

Ramai-Ramai Menggadai Indonesia

Oleh Daniel Arief Budiman

Kampanye pemanasan global (global warming) hamper setiap hari kita temukan yang berkaitan dengan hal tersebut, baik kampanye-kampanye lingkungan, poster, sticker, dan lain-lain. Bahkan sejak Indonesia menjadi tuan rumah Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perubahan iklim (UNFCC) di Nusa Dua, Bali 3-14 Desember 2007 kampanye ini pembicaraan yang serius baik dari kalangan akademisi kampus, aktifis lingkungan maupun masyarakat umum.

Pemanasan global secara singkat merupakan dampak atas terperangkapnya panas matahari atmosfer bumi. Penyumbang terbesar dari proses ini adalah fenomena efek rumah kaca. Efek rumah Kaca sendiri adalah Karbondioksida yang membiarkan radiasi cahaya masuk akan tetapi menghalangi adiasi panasnya kemabli luar. Maka yang terjadi adalah suhu permukaan bumi mengalami peningkatan dan berdampak pada banyak hal, seperti meningkatnya pencairan es di daerah kutub dan perubahan iklim.

Pada awal Februari 2008 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.2/2008 tentang Jenis dan Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak untuk Kawasan Hutan bertentangan dengan semangat nasional masyarakat Indonesia untuk mengurangi dampak perubahan iklim, akibat deforestrasi hutan. Bagaimana mungkin, program perubahan iklim dibiayai dengan dana yang bersumber dari aktivitas perusakan hutan Indonesia sendiri. PP ini sendiri memberikan implikasi pada konversi hutan untuk digunakan dalam proses pembalakan, pertambangan, perkebunan dan usaha lainnya.

Kebijakan yang dikeluarkan jelas-jelas mengabaikan semangat pelestarian lingkungan hidup Hutan Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Ekosistem Indonesia tidak bisa dibangun dengan mengorbankan pembalakan hutan. Hutan tropis Indonesia sudah rusak oleh ulah manusia dan kita bergantung pada sisa dari hutan tropis tersebut.

Masyarakat di pedalaman sekitar kawasan hutan sebagian besar bergantung pada keberadaan hutan di sekitar mereka. Keberadaan hutan merupakan sumber kehidupan sebagai basis produksi selain pembalakan, dan sumber penyedian air untuk irigasi pertanian dan pasokan air bagi daerah pesisir. Keberadaan hutan tapi perlindungan dari pemerintah semakin terancam keberadaannya. Pemerintahnya bukannya memmberi perlindungan malah memberikan izin konservasi dengan tariff yang sangat murah Rp. 120-Rp. 300 per meternya atau 1,2 -3 juta rupiah per meternya.

Indonesia

..

, merupakan bahagian dari matai-rantai hutang luar negeri Indonesia yang tidak berkesudahan.

Demikian diungkapkan Koor.Advokasi & Jejaring, Yayasan Merah Putih (YMP), Azmi Sirajuddin AR, melalui siaran pers YMP yang diterima Redaksi Sulteng.com, Selasa (26/02/2008).
Menurutnya, kebijakan nasional yang mengatur soal jenis dan tarif bagi Pendapatan Negara Di luar Pajak untuk Kawasan Hutan, adalah produk rezim SBY-JK yang tidak pro-lingkungan hidup dan tidak pro pada pengentasan kemiskinan.
PP tersebut lahir karena desakan pihak World Bank (WB) dan koleganya, seperti Asian Development Bank (ADB) serta Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Untuk menutupi kebutuhan anggaran Negara yang katanya defisit APBN 2008 dan 2009.
Karenanya pemerintah berpikir instan. Dengan membuka skema hutang luar negeri yang baru sebesar Rp23,8 Triliun. Sekitar Rp19,1 Triliun sudah diperoleh pemerintah saat ini. Dan masih membutuhkan lagi sekitar 4,7 triliun ke depan (data Depkeu RI).
Ia menambahkan, World Bank menerima proposal hutang tersebut, dengan sejumlah syarat tentunya. Pertama, Pemerintah Indonesia harus meliberalisasi sektor moneter. Caranya, pemerintah tidak boleh melakukan depresiasi terhadap nilai tukar dollar. Sekalipun misalnya, nilai Rupiah menguat terhadap dollar, tapi nilai tukar Rupiah untuk kegunaan domestik tetap rendah. “Lihatlah, harga-harga melambung tinggi. Harga bahan pokok yang tinggi, imbas dari liberalisasi sektor moneter yang tidak memproteksi harga kebutuhan pokok rakyat,” ujarnya.
Kedua, lanjutnya, Pemerintah Indonesia diharuskan meliberalisasi pula sektor fiskal. Salah satunya, perubahan dan koreksi atas sejumlah besaran tarif, bea, pajak, dan jasa. SBY-JK melihat, secara materil yang paling mudah dan tersedia untuk masuk skema fiskal ini adalah kawasan hutan yang mungkin tinggal 55 juta hektar saja (data WALHI/Sawit Watch/WFI).
Karena itu, dibuatlah produk kebijakan setingkat Peraturan Pemerintah (PP). Untuk mengakomodir perubahan pada sejumlah nilai tarif, bea dan jasa. “Yang memprihatinkan, hutan kita dinilai lebih murah dari harga sebiji mangga. Dengan kisaran Rp120 – Rp300 per meter. Atau sebanding dengan Rp1,2 juta hingga Rp3 juta per hektar,” tuturnya.
Hutang luar negeri itu, katanya untuk membiayai sejumlah projek, seperti; Development Program Loan (DPL), Infrastructure Development Program Loan (IDPL), Loan Group For Recovery and Reconstruction (LGFR), Climate Change Program Loan (CCPL). Senarai program tersebut akan dibiayai sepenuhnya oleh sumber hutang luar negeri. Padahal, hutang luar negeri kita yang lama belum mampu kita lunasi beban pokoknya. “Baru sekedar mencicil bunga hutang saja, SBY-JK telah melanggar komitmennya sendiri pada saat Pilpres untuk tidak melanjutkan hutang luar negeri yang baru,” imbuhnya.
Yang lebih mengherankan, katanya, skema pembiayaan ini dikeluarkan menjelang berakhirnya masa jabatan SBY-JK sebagai Presiden dan Wapres. Ini mengulang kesalahan serupa di akhir masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2004. Yang mengizinkan sebahagian kawasan hutan lindung untuk pertambangan. Konspirasi antara skema hutang baru itu dengan pengumpulan dana kampanye menjelang Pemilu 2009, sangat sukar untuk disangkal oleh SBY maupun JK.
Ia mengatakan, berangkat dari latar-belakang tersebut, maka, Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah, menyatakan, pertama, mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) merekomendasikan pencabutan PP No.2/2008 kepada SBY-JK. Karena tidak sesuai dengan semangat UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Dan juga merusak komitmen

Tidak ada komentar: