Rabu, November 26, 2008

artikel Budaya

INTEGRASI ISLAM SEBAGAI IDENTITAS

BUDAYA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI

Abstrak

Bangsa Indonesia memerlukan revitalisasi budaya dalam upaya menghadapi globalisasi. Revitalisasi ini terkait dengan pencarian nilai dalam kehidupan masyarakat yang dapat digunakan untuk bertahan dalam era globalisasi. Rumusan nilai inilah yang menurutnya menjadi acuan dalam penentuan arah pembangunan bangsa secara keseluruhan.

Islam merupakan salah satu akar dari budaya Indonesia. Integrasi Islam dalam budaya Indonesia harus diarahkan kepada integrasi kebudayaan yang harmonis. Integrasi kebudayaan dalam kenyataannya merupakan penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan mengenai berapa unsur kebudayaan (cultural traits) yang bertentangan agar dapat menghasilkan kebudayaan yang selaras.

Globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya karena setiap etnis yang ada akan berusaha menyesuaikan. Tetapi, dalam proses ini negara-negara -khususnya di negara berkembang dimana perekonomian belum mapan – harus berupaya memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Hal inilah yang dialami Indonesia, berada dalam pusaran kebudayaan budaya global yang didominasi budaya Barat. Perlu diperkuat budaya nasional sebagai identitas bangsa yang besar di kancah dunia global.

Kata Kunci: Budaya Indonesia, Islam, Globalisasi

A. Selayang Pandang Kebudayaan Indonesia

Indonesia memiliki Keanekaragaman budaya yang dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia.

Menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koenjtaraningrat, Kebudayaan atau budaya berasal dari kata Sansekerta buddayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang artinya budi atau akal. Oleh karena itu, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian tersebut merujuk pada gagasan J. J Honigmann tentang wujud kebudayaan atau disebut juga gejala kebudayaan. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda.[1]

Pengertian di atas bila dikaitkan dengan perkembangan kebudayaan modern[2] kita patut bertanya dimanakah peranan kebudayaan Indonesia? Apa kebudayaan Indonesia itu? Unsur apa yang mempengaruhinya? Ini menjadi pertanyaan yang beruntun yang mesti dicarikan akar jawabannya semuanya. Jangan sampai Indonesia menjadi bangsa yang tidak punya identitas jati diri bangsa di era globalisasi saat ini.

Kebudayaan Indonesia setidaknya ter-integrasi dari tiga kebudayaan besar yang mendominasi yakni Budaya timur, Budaya lokal dan Budaya Islam. Budaya timur banyak mengalami perdebatan secara sosiologis maupun secara politis. Tapi yang dimaksud di sini adalah budaya timur yang masih memegang teguh nilai norma-norma susila dan perbandingan dari budaya barat yang direpresentasikan sebagai budaya modern bahkan posmodern yang sudah meninggalkan nilai norma susila maupun agama.

Budaya lokal yang dimaksud adalah budaya daerah dari suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan suku bangsa. Budaya lokal ini merupakan wujud dari keragaman bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang majemuk (multikultur). Budaya lokal tersebut berfungsi memperkaya kebudayaan Nasional dan semua bersatu dalam semboyan bhineka tunggal ika.

Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia. Tanpa mengecilkan arti pengaruh budaya agama lain, harus disadari bahwa kebudayaan Islam Indonesia merupakan salah satu unsur pembentuk mozaik budaya Indonesia, dan sudah mulai muncul di Nusantara pada abad XI M. Dari sinilah akan dicari peranan Islam dalam kebudayaan Indonesia sebagai perekat integrasi dan identitas budaya bangsa terutama menghadapi era globalisasi.

B. Integrasi Islam dalam Kebudayaan Indonesia

Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti,dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam daripada daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan secara pasti kapan agama Islam masuk di Nusantara secara keseluruhan. Dengan demikian rangkaian berbagai macam data, baik arkeologis maupun data lain berperan menunjukkan keberadaan orang Islam di daerah bersangkutan.[3]

Mengenai proses Islamisasi Indonesia setidak-tidaknya terdapat empat teori asal Islam di Indonesia yaitu dari Anak Benua India (teori India), teori Arab, teori Persia dan teori Cina.[4]Namun bukan hal ini yang akan dibahas, yang lebih penting adalah proses kebudayaan budaya Islam itu sendiri dalam proses integrasi-nya ke dalam kebudayaan Indonesia.

Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, serta arca dewa-dewa dalam segala bentuk-bentuknya dihapus. Para seniman ukir kemudian menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru.

Salah satu cara penyebaran Islam adalah melalui seni, misalnya seni sastra, seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno. Selain itu, para pujangga waktu itu juga menggubah ceritera baru untuk dipergelarkan, seperti cerita Menak Demikian pula lirik dalam tembang untuk mengiringi pergelaran tersebut, juga dipakai untuk mengungkapkan ajaran agama yang baru. Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam membangun mesjid. Sebagaimana diketahui gaya arsitektur mesjid kuno yang disebut gaya Nusantara dikembangkan dari arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya, namun disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan agama Islam.

Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Çaka dan Hijriyah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara masjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.

Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpor dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat.[5]

Ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia terjadi Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam (kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap. Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Faktor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada, juga way of life baru.

Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan. Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan ciri-ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.

C. Kebudayaan Indonesia dalam Kepungan Arus Globalisasi

Globalisasi (globalization) menurut kamus Macmilan English Dictionary diartikan sebagai: the idea that the world in developing a single economy and culture as aresult of improved technology and communications and the influence of very large multinational companies[6]. Dari pengertian itu setidaknya Terdapat tiga isu yang berkaitan dengan globalisasi. Isu pertama adalah terdapatnya penyatuan umat manusia yang melintasi batas-batas wilayah, bangsa, etnis, ras srta agama. Isu kedua adalah semakin banyaknya distingsi negara maju dan negara dunia ketiga. Seringkali terjadi konflik dan hegemoni negara kaya terhadap negara dunia ketiga dalam bidang ekonomi, politik dan militer.

Isu terakhir adalah krisis identitas. Identitas berarti jati diri yang berarti pengenalan terhadap seseorang yang termasuk ke dalam golongan yang dilakukan karena ciri-ciri serta menandainya sehingga dia dapat digolongkan kepada kelompok tersebut.[7] Identitas seseorang akan tergerus dengan semakin mudahnya penyebaran manusia (diaspora)ke berbagai pelosok dunia dan menciptakan proses asimilasi dan akulturasi budaya yang menghilangkan kebudayaan setempat.

Identitas nasional yang berasal dari national identity yang berarti kepribadian nasional atau jatidiri nasional. Setiap bangsa mempunyai identitas yang berbeda-beda. Identitas bangsa Indonesia terbentuk karena adanya persamaan pengalaman bersama, sejarah yang sama dan penderitaan yang sama. Meskipun kebudayaan antar kelompok suku bangsa di Indonesia berbeda, namun keinginan untuk saling mendekatkan dapat membentuk identitas nasional Indonesia.[8]

Globalisasi dalam pengertian yang lain diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[9]

Tidak dapat tidak, diakui atau bukan, dalam konteks budaya, kalau dihadapkan dengan arus kuat globalisasi, ada kekuatiran, ketidaksiapan kondisi obyektif budaya (nasional) kita. Hal itu tidak saja dapat dilihat dengan terjangan berbagai arus ‘produk’ budaya bawaan globalisasi. Bukan hanya hiburan semisal film, life style, dan sebagainya. Tetapi, juga hal-hal mendasar bentukan filsafat pemikiran, mulai dari liberalisme sampai hedonisme.

Dalam menghadapi serbuan dampak negatif globalisasi pertama-pertama harus dilakukan adalah pemantapan identitas budaya nasional Indonesia. Terdapat setidaknya empat agenda kebudayaan yang setidaknya harus menjadi kepentingan kita bersama mengahadapi era globalisasi. Pertama, kebudayaan Indonesia tidak perlu “duduk” dan “ Menonton” globalisasi seolah-olah predator yang sedang mencari mangsanya. Namun, globalisasi harus kita ajak “bekerja”dan mengambil manfaat darinya. Dalam hal ini budaya nasional yang Islam berada di dalamnya perlu diajak untuk memahami bahwa globalisasi bukan untuk ditakuti atau dijauhi. Sebab globalisasi datang kepada kita, bukan kita yang manghampirinya.

Kedua, bangsa Indonesia perlu menguasai IT. Negara Indonesia masih jauh tertinggal dalam persoalan IT dengan negara-negara maju. Padahal, globalisasi terasa ‘dekat’ dengan kita melalui IT. Ketiga, menumbuh kembangkan dunia R & D (Research and Development). Tradisi riset di kalangan bangsa Indonesia masih jauh tertinggal . Pada dasarnya globalisasi berjalan itu lebih disebabkan oleh perkembangan R&Dyang dilakukan oleh negara-negara maju. Keempat adalah penguasaan media massa. Sejauh ini bangsa Indonesia tertinggal dan kurang dihargai bangsa lain karena kurangnya penguasaan yang berimbang terhadap media massa dunia.

Pada akhirnya, kita tidak usah takut atau gagap menghadapi arus globalisasi, sebab daya tahan sosial budaya menjadi hal melekat dalam tekad, pada batin, yang dinyatakan dalam tindak. Kita akan dengan teguh memilih mana bawaan globalisasi yang positif untuk kepentingan nasional kita sembari mencampakkan hal-hal buruknya.

D. Meneguhkan Islam sebagai Identitas Budaya Nasional

Integrasi Nasional selalu terkait dengan penyatuan atau pengakomodiran kepentingan dari ragam kelompok didalamnya. Integrasi sendiri menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Budaya dan Masyarakat, adalah masalah sosial yang tidak pernah selesai, selalu menghadapi kekuatan disintegrasi. Adanya konflik kepentingan ini menurut Kuntowijoyo adalah sebuah hal yang alamiah, dimana integrasi tersebut memiliki makna yang berbeda dalam persfektif setiap kelompok budaya, ketika sebuah kelompok berhasil menancapkan persfektifnya terhadap integrasi yang terbentuk, maka Ia mempunyai kecenderungan untuk mempertahankannya, diluar itu kelompok dengan persfektif atau makna lain sebaliknya menginginkan disintegrasi, merasa kepentingannya tidak terakomodir.[10]

Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.

Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan ciri-ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.



[1] Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi.(Jakarta: Aksara Baru, 1986), hlm. 181.

[2]Kebudayaan Modern berkembang dari Kebudayaan Barat yang mengalami proses perjalanan panjang untuk menjadi seperti saat ini. Kebudayaan itu bermula dari zaman Renaissance abad XV dan XVI yang membawa Humanisme. Berlanjut ke abad XVII dan XVIII dengan Rasionalisme; kemudian abad XIX dan XX dengan Scientisme dan Materialisme. Tim PLP2M. Perspektif Islam dalam pembangunan Bangsa. (Yogyakarta: PLP2M, 1986), hlm. 89.

[3] Azyumardi azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. (Bandung: Mizan, 2002) hlm.20-21.

[4] Mundzirin Yusuf (ed). Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka, 2006) hlm. 34.

[5] Uka (ed.)Tjandrasasmita. Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)hlm. 100-105.

[6] Michael Rundell et al (ed). Macmillan English Dictionary for Advanced Learners, (Oxford: Bloomsburry Publishing, 2002) hlm. 620.

[7] Parsudi Suparlan, Hubungan Antar Suku Bangsa, (Bahan Kuliah Hubungan Antar Suku Bangsa), 1999. Internet akses 16 April 2008.

[8] A. Ubaidillah et al. Pendidikan Kewargaan (Civic Education):Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000) hlm. 8-9.

[9] Globalisasi dalam http://wikipedia.com akses tanggal 16 April 2008.

[10] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat.(Yogyakarta:Tiara Wacana, 1987) hlm. 76.

Tidak ada komentar: