Rabu, November 26, 2008

artikel kompas

Bangsa Bahari Yang Merana

Oleh Daniel Arief Budiman

Deklarasi Djoeanda 1957 diumumkan ke dunia Internasional pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri RI Ir. H. Djoeanda. Indonesia sebagai negara kepulauan ditetapkan dalam konvensi hukum laut melalui United Nation Convention on Law of The Sea tahun 1982. Atas dasar ini Indonesia diakui memiliki luas wilayah mencapai 1,9 juta persegi dan terdiri atas 17. 508 pulau.

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 770 suku bangsa, 726 bahasa dan 19 daerah hukum adat. Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural) dilihat dari Suku, Agama , Ras dan Antar golongan (SARA). Dalam masyarakat yang majemuk tersebut terdapat dua kelompok kehidupan yaitu kehidupan masyarakat pedalaman dan pesisir. Masyarakat pedalaman sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sedangkan masyarakat pesisir bermata pencaharian sebagai nelayan.

Kehidupan pesisir Indonesia harusnya menjadikan para nelayan sebagai orang yang kaya karena kekayaan laut Indonesia yang melimpah. Wajar saja dari 1,9 juta wilayah Indonesia, sepertiganya merupalan lautan. Namun, kenyataannya nelayan Indonesia masih dalam keadaan yang memprihatinkan bahkan banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.

Dalam pemberitaan Kompas, Selasa(15/4) patroli keamanan laut Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menangkap 11 kapal Vietnam dan 4 kapal China yang sedang mejaring ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut China Selatan. Penangkapan seperti ini untuk yang kesekian kalinya kekayaan perairan Indonesia dicuru oleh kapal-kapal asing. Kapal-kapal tersebut ditangkap karena diduga menangkap ikan tanpa dokumen resmi dan melanggar Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

Kapal-kapal yang ditangkap merupakan jenis kapal yang mahal karena dilengkapi dengan alat tangkap jaring pukat harimau (trawl) sistem navigasi modern. Pencurian ikan oleh nelayan asing diperkirakan merugikan negara milyaran rupiah setiap kali mereka mencuri ikan. Kemampuan nelayan asing berbeda jauh dengan nelayan Indonesia yang menangkap ikan hanya mengandalkan alat-alat tradisional.

Penanganan pencurian ikan (illegal fishing) di perairan Indonesia disebabkan oleh minimnya patroli pengawasan wilayah perairan. Kapal patroli milik DKP saat ini hanya berjumlah 21 unit kapal dari 79 unit idel yang harus dimiliki untuk pengamanan wilayah perairan. Masalah lain yang turut mengurai “benang kusut ‘ masalah ini adalah berlarut-larutnya penyelesaian proses hukum para oknum pemilik kapal serta anak Buah Kapal (ABK).

Kebijakan kelautan Indonesia yang dirumuskan pemerintah belum menyentuh sedikit pun pada pemberdayaan ekonomi kelautan dan kesejahteraan nelayan. Selama ini pemerintah hanya sibuk mempersoalkan kegiatan industri di perkotaan dan cenderung me-marjinal-kan kebijakan perekonomian kelautan. Ironis memang negeri yang 2/3 adalah lautan tapi bertumpu pada perekonomian daratan, inilah yang memunculkan illegal fishing oleh Negara lain.

Pengambil kebijakan di neferi ini harus secepatnya merumuskan kebijakan pemberdayaan ekonomi kelautan supaya tidak menjadi barang curian dari Negara lain. Dulu, pemerintah punya obsesi untuk membuat Institut Teknologi berbasis maritim yang dipusakan di Maluku tapi keinginan itu lenyap ditelan pergantian kebijakan pemimpin. Sudah saatnya nelayan Indonesia punya teknologi kelautan sepaya dapat menyaingi nelayan Negara lain. Jangan sampai Indonesia menjadi Negara bahari yang merana!

Daniel Arief Budiman, mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Alamat surat: Wisma Sangkuriang Gendeng GK IV/999 Yogyakarta 55225 telp. 081392342570 (menerima SMS);

E-mail: ibrania_fahlevi@yahoo.com

No. Rek. Bank BNI Cab. UGM: 0079344156 an. Daniel Arief Budiman.

Tidak ada komentar: